- Tentang Puisi
Puisi ini ditulis Seno Gumira Ajidarma pada tahun 1991 di Dili untuk menyampaikan kritik dan kecaman terhadap perlakukan pemerintah yang membunuh, melukai, dan menculik ratusan demonstran di Timor Timur yang berdemo menuntut nasib dan kemerdekaan rakyat Indonesia di Dili.
Seno menulis puisi ini sebagai penghormatan bagi para demonstran yang diserang oleh pasukan tentara Indonesia di Dili, dan juga sebagai pengingat mengenai masa lalu Indonesia yang kelam dan bagaimana kejam dan kerasnya pemerintah pada rakyatnya sendiri pada waktu itu. Puisi ini juga mengingatkan rakyat Indonesia untuk perjuangkan kemerdekaan dan pertahankan kemerdekaan kalian, walau harus mengorbankan jiwa dan raga.
- Tentang Penulis
Seno Gumira Ajidarma lahir di Boston, 19 Juni 1958 sebagai anak dari pasangan Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo yang seorang guru besar Fakultas MIPA di Universitas Gadjah Mada dengan Poestika Kusuma Sujana seorang wanita yang berprofesi sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Berbeda dengan ayahnya, Seno tidak menyukai pelajaran-pelajaran yang termasuk ilmu pasti yang menggunakan angka-angka seperti matematika yang penuh dengan ilmu ukur dan hitung menghitung.
Perkenalan Seno dengan karya sastra dimulainya ketika ia bergabung dengan teater Alam yang dipimpin oleh Azwar A.N. Karya puisi pertamanta yang dimuat dan diterbitkan adalah sajak yang berjudul “Puisi Lugu”. Di awal karirnya sebagai penyair, Seno seringkali di pandang sebelah mata oleh orang-orang. Mereka meremehkan Seno yang menjadi penyair kontemporer, tetapi hal tersebut tidak membuatnya patah semangat dan hatinya untuk menulis. Semakin banyak ocehan dan cibiran yang datang, hal itu malah menjadi lecutan baginya untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
Setelah Seno sukses memulai debutnya sebagai penyair, Seno mulai merambah ke jenis-jenis karya sastra yang lain seperti esai, novel dan karya non-fiksi pun telah dihasilkannya, Sekarang, selain bekerja di Pusat Dokumentasi Jakarta, beliau juga mengisi kesehariannya dengan membaca, menulis memotret dan jalan-jalan. Beliau juga mulai menuangkan kreativitasnya dalam bentuk komik.
Karya-karya sastra yang beliau hasilkan: Saksi Mata, 1987; Pelajaran Mengarang, 1993; Manusia Kamar, 1988; Penembak Misterius, 1993; Saksi Mata, 1994; Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, 1995; Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, 1996; Iblis Tidak Pernah Mati, 1999.
Pendidikan formal yang dilalui oleh Seno: Sarjana, Fakultas Film & Televisi, Institut Kesenian Jakarta, 1994; Magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia, 2000; Doktor Ilmu Sastra, Universitas Indonesia, 2005.
Penghargaan yang diterma oleh Seno: Radio Arif Rahman Hakim (ARH) untuk cerpennya Kejadian, 1977; Majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda dan Cermin, 1980; Harian Kompas untuk cerpennya Midnight Express, 1990; Harian Sinar Harapan untuk cerpennya Segitiga Emas, 1991; Harian Kompas untuk Cerpen Pelajaran Mengarang, 1993; Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan cerpen Saksi Mata, 1995; East Asia (S.E.A.) Write Award untuk kumpulan cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, 1997; Dinny O’Hearn Prize for Literary untuk Cerpen Saksi Mata, 1997; Khatulistiwa Literary Award 2004 untuk novel Negeri Senja, 2004; Khatulistiwa Literary Award 2005 untuk Kitab Omong Kosong, 2005.
Ringkasan Puisi Terompet Karya Seno Gumira Ajidarma
Latar belakang yang terlihat di dalam puisi ini adalah di sebuah ruangan di pagi hari, di waktu sarapan dan berada di suatu tempat yang terdapat seorang pemain terompet yang akan memainkan terompetnya, dimana tempat tersebut seharusnya digunakan untuk pembicaraan seputar hal-hal yang berhubungan dengan politik.
Tetapi, sang pemain terompet tidak segera bermain terompet, melainkan dia merenung, dan berpikir apa yang bisa dia lakukan dengan terompet ini untuk memperbaiki beberapa hal sedang dia renungkan. Dia merenungi mengenai beberapa hal yang terjadi di dunia, merenung bagaimana dia bisa memperbaiki hal tersebut, tetapi dengan kemampuan yang bisa dia lakukan, yaitu bermain terompet.
Dia merenungkan mengenai perilaku yang dilakukan oleh manusia yang mengakibatkan banyak orang terbunuh. Dia berandai-andai seandainya dia bisa memainkan terompetnya untuk dapat membangkitkan orang-orang yang terbunuh tersebut dari kematian, untuk menjalani hidup-hidup mereka seperti biasa. Dia begitu tidak menyukai dan mempertanyakan mengapa ada orang-orang yang tega membunuh orang lain.
Dia merenungkan seandainya dia bisa memperbaiki hari-hari yang lalu, setiap dia mendengar banyak orang yang dibunuh karena berbagai alasan. Dia berpikir seandainya dia di malam itu memainkan terompetnya, yang dia harapkan bisa membangkitkan kembali mereka yang terbunuh, karena hanya hal itu yang bisa dia lakukan. Dia merasa menyesal mengapa dia tidak memainkan terompetnya yang bisa menghidupkan mereka kembali, yang merupakan harapannya dan tidak mungkin tejadi di dunia ini, seorang pemain memainkan terompetnya sehingga orang-orang yang telah mati terbunuh bisa hidup kembali.
Dia merenungkan mengenai orang-orang yang dibunuh atau terbunuh dikubur tanpa menggunakan batu nisan sebagai penanda bahwa di dalam tanah tersebut terdapat orang yang telah mati, dia berharap seandainya di waktu orang tersebut dikubur tanpa batu nisan, dia bisa menghidupkan mereka kembali dengan memainkan terompetnya agar mereka dapat menuju ke tempat dimana orang yang membunuh mereka berada, yaitu di kantor gubernur untuk meminta pertanggungjawaban dari mereka.
Dia juga merenungkan orang-orang yang terbunuh ketika mereka sedang menuju gereja, yang terbunuh dengan tertembak peluru sehingga tubuh mereka berlubang dan darah mengalir dari mulut mereka dan dia berharap hanya dengan memainkan terompetnya, dia dapat membangkitkan mereka kembali dari kubur, sehingga mereka dapat melanjutkan niat mereka untuk beribadah kepada gereja dengan tubuh mereka yang telah berlubang dengan darah yang berada di mulut mereka dan mereka berdoa di dalam gereja mengenai apa yang telah terjadi kepada mereka, dan tidak ada hal lain yang mereka bicarakan selain kebencian mereka terhadap orang-orang yang menembak mereka, dan bagaimana orang-orang yang menembak mereka membenci mereka karena mereka tidak menganut agama yang sama.
Tetapi akhirnya, dia tersadar dari renungannya, bahwa tidak ada hal yang bisa dia lakukan untuk mengulang apa yang sudah terjadi. Dia menyadari bahwa dia hanyalah seorang pemain terompet yang ada untuk menghibur orang-orang yang sedang sarapan dengan nada merdu yang dikeluarkan oleh terompetnya. Dia menyadari bahwa terompetnya hanyalah terompet biasa, dan bukan terompet ajaib yang bisa membangkitkan orang dari kematian. Dia menyadari bahwa dia hanyalah seorang pemain terompet -dia tidak mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk menghentikan mereka yang membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Dia merasa orang-orang yang sedang sarapan di depannya, yang akan dimanjakan dengan alunan jazz yang keluar dari terompetnya, yang dapat menghentikan hal itu untuk terus terjadi. Tetapi, tetap saja, dia hanyalah seorang pemain terompet biasa, dan mereka pasti tidak akan mau membicarakan hal yang berbau politik disaat mereka sedang sarapan.
Some online learning platforms provide certifications, while others are designed to simply grow your skills in your personal and professional life. Including Masterclass and Coursera, here are our recommendations for the best online learning platforms you can sign up for today.
The 7 Best Online Learning Platforms of 2022
- Best Overall: Coursera
- Best for Niche Topics: Udemy
- Best for Creative Fields: Skillshare
- Best for Celebrity Lessons: MasterClass
- Best for STEM: EdX
- Best for Career Building: Udacity
- Best for Data Learning: Pluralsight