Ringkasan dan Analisis Puisi Dari Catatan Seorang Demonstran Karya Taufiq Ismail: 2022

Tentang Puisi dan Penulis: Taufiq Ismail adalah seorang penyair terkemuka Indonesia yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 25 Juni 1935. Beliau adalah pendiri majalah sastra Horison pada tahun 1966 dan juga mendirikan Dewan Kesenian pada tahun 1968. Taufiq Ismail adalah seorang lulusan dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia di Bogor pada tahun yang 1963 yang sudah berganti namanya menjadi Institut Pertanian Bogor.

Taufiq sudah menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisi, di antaranya: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.); Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970); Tirani (1966); Puisi-puisi Sepi (1971); Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971); Buku Tamu Museum Perjuangan (1972); Sajak Ladang Jagung (1973); Puisi-puisi Langit (1990); Tirani dan Benteng (1993); dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).

Dari Catatan Seorang Demonstran adalah salah satu puisi yang terdapat di dalam antologi yang berjudul Tirani dan Benteng yang ditulis oleh Taufiq Ismail yang diterbitkan pada tahun 1993 oleh penerbit Yayasan Ananda di Jakarta. Puisi ini memiliki makna bagaimana para demonstran yang pada waktu itu bergerilya menentang kediktatoran pemerintah.

Ringkasan Puisi Dari Catatan Seorang Demonstran Karya Taufiq Ismail

Puisi ini berlatar belakang di sebuah peperangan yang tentunya terjadi di Indonesia, mengingat Taufiq adalah orang Indonesia dan juga puisi ini menceritakan bagaimana para demonstran berdiri melawat kediktatoran pemerintah dengan cara perang bergerilya.

Para demonstran yang sedang berada di tengah peperangan tersebut telah menyadari bahwa perang ini bukanlah perang yang adil. Mereka berperang tanpa adanya tempat berlindung, mereka berperang dengan cara gerilya, yaitu berperang dengan cara diam-diam sambil berpindah-pindah tempat agar lawan mereka kebingungan dan agar tidak ditemukan oleh mereka juga, dan mereka akan menyerang ketika mendapat kesempatan. Memang cara perang ini adalah cara perang yang tidak efektif dan sangat menghabiskan tenaga. Ditambah lagi dengan keadaan mereka yang tidak memiliki senjata apapun, yang membuat keadaan makin bertambah sulit, dan semakin menunjukkan keputusasaan.

Mereka berperang di saat hari yang mendung, yang mendung tersebut juga terdapat di dalam mereka, mendung karena tidak adanya harapan bagi mereka untuk melawan lawan mereka, apalagi untuk memenangkan peran. Mereka merasa sangat tak berdaya dalam menghadapi lawan mereka, tetapi mereka tetap berani memperjuangkan keadilan demi rakyat yang juga tidak kalah tidak berdayanya dibandingkan mereka.

Dan di keadaan seperti itulah dimana keberanian mereka diuji, jiwa kebangsaan dan keadilan mereka diuji apakah mereka benar-benar berani untuk melawan lawan mereka, mempertahankan keadilan dan kebenaran yang mereka percayai dengan keadaan yang tidak berdaya, tidak memiliki senjata dan tidak memiliki tempat berlindung bagi mereka dalam peperangan ini.

Kebenaran yang mereka percayai dan perjuangkan dicoba, apakah memang mereka mempercayainya dengan sekuat raga dan sepenuh hati mereka ataukah itu hanya sekedar kedok untuk menyembunyikan rasa takut mereka. Lawan mereka mencoba kebenaran yang diperjuangkan oleh para demonstran dan lawan mereka akan mencoba untuk menghancurkan kebenaran tersebut agar mereka bisa disebut sebagai pemenang dan para demonstran dengan ketidak berdayaannya, akan mencoba melindungi kebenaran tersebut walau harus mengorbankan nyawa mereka.

Lawan mereka menyerang tanpa peduli keadaan atau apa yang sedang terjadi di kehidupan para demonstran, dan pada kali ini, lawan mereka menyerang ketika mereka sedang dalam masa berkabung karena banyaknya orang yang berada di pihak demonstran yang sudah mati dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan, bersedih karena lawan mereka tidak mempunyai rasa belas kasihan terhadap mereka yang memang tidak memiliki apapun yang bisa digunakan untuk berperang kecuali keberanian dan diri mereka sendiri.

Lalu, para demonstran ini tetap mencoba untuk melawan lawan mereka yang datang, walaupun dengan ketidakberdayaan mereka, mereka masih merasa bahwa mereka memiliki kewajiban untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan, walaupun di depan mereka menghadang ribuan pasukan dari pihak lawan.

  • Analisis Singkat Puisi Dari Catatan Seorang Demonstran Karya Taufiq Ismail

Puisi ini secara jelas ditulis untuk memberitahukan bagaimana kondisi para demonstran yang membela kebenaran dan keadilan pada tahun dimana puisi ini ditulis. Para demonstran tersebut berdemo dan melawan kediktatoran pemerintah yang sedang berkuasa pada saat itu, yang mengerahkan pasukan militernya untuk membungkam para demonstran yang menuntut kebenaran dan keadilan bagi rakyat, yang juga di buat sengsara perihal kediktatoran pemerintah Indonesia waktu itu yang terkesan semena-mena terhadap rakyat mereka sendiri.

Puisi ini menceritakan secara jelas bagaimana tidak berdayanya para demonstran yang tidak memiliki apapun untuk bertahan melawan pasukan pemerintah yang pasti memiliki senjata untuk menyingkirkan para demonstran, sedangkan demonstran yang tidak memiliki senjata apapun, terpaksa hidup berpindah-pindah tempat dan terkadang hidup di alam, untuk bertahan hidup dari kejaran pasukan pemerintahan sembari tetap melawan dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan bagi rakyat-rakyat yang tertindas.

Taufiq Ismail menulis puisi  ini sebagai ungkapan dukungannya terhadap para demonstran, dan bagaimana dia merasa prihatin dan juga salut melihat para demonstran yang sudah jelas akan kalah, tidak memiliki apapun untuk berperang, tetapi tetap berani mempertahankan apa yang mereka percayai, yaitu kebenaran dan keadilan bagi rakyat Indonesia, walaupun mereka harus mengorbankan segala yang mereka miliki dan hidup dengan cara yang susah dan menakutkan.

Gaya Bahasa Puisi Dari Catatan Seorang Demonstran Karya Taufiq Ismail

  • Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan disini adalah sudut pandang orang ketiga terbatas, yang terlihat bagaimana narator dari puisi ini mengetahui apa yang terjadi di peperangan, mengetahui bahwa para demonstran berperang secara gerilya, tidak memiliki senjata, dengan keadaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan. Tetapi narator tersebut tidak mengetahui apa yang terjadi di diri masing-masing atau apa yang sedang dirasakan oleh para demonstran mengenai perang yang sedang dilakukan.

  • Simbolisme

Puisi ini juga menggunakan simbolisme yang terdapat di baris ketiga bait pertama terdapat kata “mendung” sebagai simbol dari ketidakberdayaan yang terdapat di masyarakat dan para demonstran, dan juga terdapat di kata “jendela” pada baris kedua bait pertama yang menunjukkan bahwa para demonstran berperang tanpa adanya tempat tinggal, karena jendela merupakan bagian dari sebuah rumah, yang merupakan sebuah tempat tinggal, dan jendela merupakan tempat dimana para demonstran mengawasi musuh-musuh mereka dari tempat yang aman.

Whether you’re aiming to learn some new marketable skills or just want to explore a topic, online learning platforms are a great solution for learning on your own schedule. You can also complete courses quickly and save money choosing virtual classes over in-person ones. In fact, individuals learn 40% faster on digital platforms compared to in-person learning.

Some online learning platforms provide certifications, while others are designed to simply grow your skills in your personal and professional life. Including Masterclass and Coursera, here are our recommendations for the best online learning platforms you can sign up for today.

The 7 Best Online Learning Platforms of 2022

About the author

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Other related Posts